Mencari kerja adalah salah satu hal yg biasa dilakukan banyak
fresh graduate, termasuk penulis. Cari lowongan ini, itu, lamar sini, lamar sana, bahkan mencoba menghubungi salah satu instansi pemerintah yang penulis pernah magang di sana, bermodal SKL Sementara,
all to no avail...
yet...
Dalam periode ini, penulis banyak menghabiskan waktu dengan mengerjakan hal-hal yg menurut kebanyakan orang Indonesia tidak produktif,
namely, gaming dan nonton film, dan penulis tertarik pada produk dari keduanya yang dapat dikatakan lama, salah satunya
The Punisher,
game dan filmnya.
The Punisher sendiri menceritakan kisah seorang eks-marinir (atau apa itu, yg salah satu motonya "Semper Fi") bernama Frank Castle yang memerangi kriminalitas seorang diri setelah menyaksikan
SELURUH keluarganya dibunuh dengan keji oleh
mobsters. Berawal dari balas dendam (atau hukuman/
punishment,
as Castle puts it) perang tersebut menjadi kelanjutan dari respon Castle kepada
mobsters yg telah mengambil segalanya darinya (
seriously, to take away a man's family is to take away everything from him).
Salah satu yg menarik dalam adegan film tersebut adalah ketika Castle menarasikan motifnya terkait respon terhadap
mobsters tersebut, yang seperti Castle katakan
"In certain, extreme circumstances, the law is inadequate. In order to shame its inadequacy, it is necessary to act outside the law. To pursue
NATURAL JUSTICE."
-
The Punisher, 2004
Penulis merasa janggal dengan apa yg Castle sebut dengan "natural justice." Bukan karena penulis tidak memahami apa yg Castle maksud dengan sebutan itu, tetapi karena sebutan itu memunculkan pertanyaan dalam benak penulis "
Is there any other kind of justice, aside from the natural one?", "
What makes it necessary for Castle to put it as natural justice?", yg penulis melihat jawabannya dapat dimulai dari narasi Castle sendiri.
Castle menarasikan bahwa tindakannya yg di luar hukum adalah untuk memaklumi kelemahan hukum demi mengejar keadilan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hukum
tidak selalu menegakkan keadilan. Kalau mau dikaji lagi, hukum semata-mata menyatakan mana saja hal yg
diperbolehkan dan mana saja hal yg
tidak diperbolehkan. Jadi, poin utamanya adalah boleh-tidak boleh, adil-tidak adil urusan nanti.
Kesimpulan tersebut membuat penulis
melongo, sekaligus memberi pandangan bagi penulis bahwa badan atau konsep hukum terlalu sering dimiskonsepsikan sebagai "penegak keadilan" dan "keadilan" itu sendiri. Hukum menyamarkan, mengaburkan konsep keadilan, dengan seolah-olah menegakkan keadilan. Padahal, kembali pada poin utama hukum, adalah hanya menegakkan hukum itu sendiri,
and let me reiterate that the matter of just-unjust comes later, or maybe not at all.
Tidak hanya sekali atau dua kali indikasi bahwa hukum dan keadilan adalah dua hal yg berbeda. Ingatkah pembaca mengenai kasus seorang nenek yg dijatuhi hukuman hanya (atau ok, mungkin nggak hanya) karena mencuri buah dari kebun orang lain? Sementara itu, banyak koruptor yang masih bebas berkeliaran, menghabiskan uang rakyat untuk kepentingan pribadi. Adilkah perlakuan tersebut?
Yg terjadi pada kasus tersebut adalah badan hukum yg menjalankan tugasnya yaitu menegakkan hukum pada nenek tersebut, dan mungkin terhadap koruptor-koruptor yg penulis sebut, hanya, mungkin, masih dalam proses investigasi atau birokrasi karena melibatkan jumlah materi yg besar (
sarcasm intended). Hukum (mungkin) telah ditegakkan, adil-tidak adil urusan nanti.
Agaknya paparan ini memberikan gambaran kepada pembaca bagaimana miskonsepsi yg terjadi mengenai badan hukum sebagai "penegak keadilan." Poin utama hukum adalah legalitas, boleh-tidaknya sesuatu untuk dilakukan, bukan perkara adil-tidak adil. Tapi, penegakkan yg, kalau dilakukan, bersifat memaksa, memunculkan kesan seolah-olah badan hukum terkait sedang menegakkan keadilan, padahal belum tentu halnya.
Thus, serving the law isn't always serving justice, for there are times that even the law itself impairs justice from being served.